Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan fenomena kemarau basah tidak hanya dipengaruhi oleh El Nino saja, melainkan karena dampak dari Indian Ocean Dipole (IOD).
“Intensitas El Nino semakin menguat. BMKG mendeteksi IOD yang semakin menguat ke arah positif yang artinya seperti fenomena yang terjadi seperti 2019 di mana IOD menguat dan mengakibatkan kondisi kering lebih kering di wilayah Indonesia,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers daring, Selasa (6/6).
Secara singkat, ia menjelaskan fenomena El Nino dikontrol oleh suhu muka laut di Pasifik, sementara IOD dikontrol oleh suhu di Samudera Hindia.
Dikutip dari Bureau of Meteorology (BoM) Australia, IOD merupakan perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah (atau kutub/dipol). ‘Kutub’ barat ada di Laut Arab (Samudra Hindia barat), dan ‘kutub’ timur di Samudera Hindia timur di selatan Indonesia.
IOD mempengaruhi iklim negara-negara yang mengelilingi Cekungan Samudera Hindia dan merupakan kontributor yang signifikan terhadap variasi curah hujan area ini.
Dwikorita mengungkap IOD ini “berada pada fase mengarah menuju positif hingga di bulan Oktober.”
BMKG pun menyebut “El Nino berdampak pada berkurangnya curah hujan, begitu pula dengan fenomena IOD positif. Kombinasi keduanya dapat menyebabkan dampak yang lebih kuat/signifikan.”
Kebersamaan dua fenomena ini pada 2023 serupa dengan yang terjadi pada 2019 yang memicu kekeringan.
Peluang El Nino
BMKG juga mengungkap fenomena La Nina yang memicu kemarau basah sudah berakhir sejak Februari 2023. Mulai Mei hingga saat ini, Dwikorita menyebut suhu air laut di Samudera Pasifik mengalami perubahan yang mengarah pada El Nino.
“Jadi semakin menghangat di Samudera Pasifik, anomali temperatur di Samudera Pasifik ini semakin meningkat sudah mencapai 0,8, artinya El Nino masih lemah,” kata dia.
“El Nino diprediksi akan berlangsung dengan intensitas awalnya lemah sekitar Juni, kemudian menguat hingga moderat,” lanjutnya.
Ia mengungkap peluang ElNino punya kekuatan moderat mencapai 80 persen. “Di bulan Maret kami memprediksi 60 persen, kini menjadi 80 persen.”
Soal dampaknya, lewat peta prakiraan cuaca yang dipaparkan Dwikorita, sejumlah wilayah seperti Pulau Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara mulai masuk ke fase minim hujan di bawah 30 persen pada bulan ini hingga September.
Hal ini menurut Dwikorita harus diwaspadai karena bisa menyebabkan kekeringan di wilayah-wilayah yang kurang pasokan air.
[Gambas:Infografis CNN]
(*)